Lampu Sein, Komunikasi Berkendara Yang Awalnya Peluit Dan Lonceng

Lampu Sein, Komunikasi Berkendara Yang Awalnya Peluit Dan Lonceng
Peluit dan lonceng membingungkan saat berada di persimpangan jalan yang ramai dan syarat dengan lalu lalang kendaraan
 

Lampu sein atau dalam 'bahasa bule' turn signal sudah jadi perangkat standar pada kendaraan bermotor. Berfungsi untuk memberi tahun pengguna jalan lain, saat akan berbelok ke kanan ataupun ke kiri.

Kemunculannya tak bisa dipisahkan dari perkembangan besar dunia otomotif. Pertama kali hadir pada 1907, namun tidak langsung populer. Bahkan keberadaannya kalah dengan peluit dan lonceng yang lebih ekonomis dan juga sederhana.

Pada tahun 1920-an sebuah pabrikan Jerman mengenalkan peluit uap dan lonceng untuk menandakan arah belok kendaraan. Bunyi satu kali menandakan arah ke kanan, sedangkan jika bunyi dua kali adalah tanda belok ke kiri.

Awalnya hal ini berjalan dengan baik, tapi seiring berkembangnya aktivitas lalu lintas, bunyi-bunyian ini justru membingungkan. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mengetahui kendaraaan mana yang ingin berbelok ke kanan atau sebaliknya, saat berada di persimpangan yang ramai.

Inovasi selalu jadi penyelamat, di tahun 1930-an dikenalkanlah alat penanda beok dalam wujud lampu yang dipasang di bagian kiri dan kanan kendaraan. Awalnya, lampu yang disebut semaphore (semapur) ini tidak berkedip, baru pada tahun 1937 moda lampu berkedip berhasil ditemukan.

Kehadiran flashing turn signal atau lampu sein berkedip itu tidak begitu saja bisa diterima oleh industri otomotif. Beberapa merek kendaraan era 30 hingga 60-an lebih memilih model lampu semaphore, walaupun kemudian lampu sein berkedip sepenuhnya jadi standar pada akhir 60-an.