Teknologi Kemudi Otonom Mengancam Pekerjaan Sopir Truk

 Teknologi Kemudi Otonom Mengancam Pekerjaan Sopir Truk
Sejumlah merek kendaraan terkemuka seperti Mercedes-Benz dan MAN sudah melakukan uji coba truk dengan kemudi otonom yang menjanjikan biaya operasi kendaraan lebih efisien.
 

Penggunaan teknologi kemudi otonom pada kendaraan komersial seperti truk kini sedang gencar diperkenalkan di Eropa.

Sejumlah merk kendaraan terkemuka seperti Mercedes-Benz dan MAN sudah melakukan uji coba truk dengan kemudi otonom atau swakemudi ini yang menjanjikan biaya operasi kendaraan lebih efisien, menurunkan emisi gas buang dan membuat jalan raya lebih aman dari risiko kecelakaan.

Namun, aplikasi teknologi ini dikhawatirkan mengancam eksistensi pengemudi truk. Mereka terancam kehilangan pekerjaan. Karenanya,seperti hasil penelitian International Transport Forum (ITF) di Eropa, perlu ada fase transisi.

Hasil studi ITF merekomendasikan kepada Pemerintah agar mempertimbangkan cara mengelola truk-truk swakemudi yang nanti akan lalu lalang di jalanan untuk menghindari dampak sosial negatif akibat hilangnya pekerjaan bagi para pengemudi truk.

"Penggunaan truk swakemudi akan menghemat biaya, menurunkan emisi gas buang dan membuat jalan raya lebih aman. Tapi hal ini akan berdampak berkurangnya lapangan pekerjaan bagi pengemudi truk profesional," ungkap riset tersebut.

Studi ITF juga menyebutkan, penggunaan truk swakemudi bisa menurunkan permintaan kerja terhadap pengemudi profesional hingga 50 sampai 70 persen di Amerika dan Eropa sampai tahun 2030 mendatang.

Sebanyak 4,4 juta dari 6,4 juta lapangan kerja untuk pengemudi truk profesional diperkirakan akan hilang.

Jika penggunaan truk swakemudi tumbuh pesat, akan bisa langsung menggantikan pekerjaan bagi lebih dari 2 juta pengemudi truk di AS dan Eropa, berdasar skenario dari riset tersebut.

Para pengemudi truk profesional saat ini tergabung di International Transport Workers’ Federation, yang merupakan asosiasi pengemudi truk global dengan 700 serikat kerja dengan lebih dari 4,5 juta anggota dari 150-an negara.