Sebenarnya, jika diperhatikan dengan cermat kecepatan laju sebuah truk tidak terlalu tinggi. Baik di jalan non-tol maupun di jalan bebas hambatan.
Tidak lain karena potensi beban yang berat serta spesifikasi teknis yang memang dirancang bukan untuk melaju kencang, menjadi sebabnya.
Oleh karena itu, berjalan seiring dengan truk yang ukuran sedang maupun besar tetap butuh kewaspadaan maksimal. Namun, di kondisi saat ini, khususnya di jalur tol, dimana masih banyak pengemudi yang melewati batas kecepatan maksimal ataupun lebih rendah dari semestinya yang sesuai regulasi.
Sudah beberapa kali terjadi kecelakaan sebuah truk dihantam bagian buritannya dari belakang oleh kedaraan lain. Baik oleh kendaraan yang ukurannya lebih kecil maupu sesama kendaraan besar. Acap kali juga menimbulkan korban jiwa sia-sia.
Sebenarnya untuk antisipasi agar tidak terjadi benturan fatal tidak lain diawali dengan menjaga batas kecepatan yang diperbolehkan di regulasi jalan raya Indonesia. Kendati begitu, regulasi yang juga mengatur bagaimaa sebuah kedaraa angkut barang punya peranti perlindungan preventif pada dasarnya juga sudah ada.
Setidaknya bisa disebutka yatitu Rear Underrun Protection (RUP), peranti atau alat yang dipasang di buritan truk. Sebagai penahan jika ada benturan oleh kendaraan lain agar tidak malah masuk ke kolong truk.
Itu fungsinya serupa dengan bumper yang tingginya tak terlalu jauh dibandingkan ketinggian bagian depan mobil kecil pada umumnya.
Regulasi yang mengatur perlunya ‘bumper tambahan’ itu terpasang di truk adalah Permen 74 Tahun 2021. Isinya soal Perlengkapan Keselamatan Kendaraan Bermotor Selain Sepeda Motor.
Baca juga: Microsleep : Bahaya Laten Pengemudi Di Jalan Tol
Ketentuan memasang Rear Underrun Protection (RUP) yag kerap disebut sebagai "perisai kolong belakang" itu ada pada Pasal 15 dan Pasal 16. Tegas disebutkan bahwa RUP wajib dipasang pada mobil barang dan atau truk dengan Jumlah Berat Bruto (JBB) mulai 5.000 kg atau 5 ton ke atas.
Bunyi Permen 74 Tahun 2021 Pasal 15 Ayat 1; Perisai kolong belakang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a harus dipasang pada Kendaraan Bermotor jenis Mobil Barang dengan JBB mulai 5.000 (lima ribu) kilogram, Kereta Gandengan, atau Kereta Tempelan.
Kemudian pada ayat 2 Pemasangan perisai kolong belakang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pembuat, perakit, pengimpor, dan/atau perusahaan karoseri.
Pasal 16 dari regulasi itu juga menyebutkan; Perisai kolong belakang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipasang dengan ketentuan:
- 1. Menggunakan bahan besi atau sejenisnya;
- 2. berbentuk pipa atau persegi yang menutup penuh sisi belakang kendaraan atau paling sedikit 80 persen (delapan puluh persen) dari lebar total kendaraan yang pemasangannya paling sedikit sejajar atau tidak melebihi 100 (seratus) milimeter dari ujung terluar bagian belakang dinding bak muatan kendaraan;
- 3. dipasang dengan ketinggian bagian sisi bawah dari perisai kolong belakang ke permukaan jalan tidak lebih dari 550 (lima ratus lima puluh) milimeter dipasang dengan ketinggian sudut pergi paling kecil 8 (delapan) derajat;
- 4. dan terpasang kokoh pada chassis atau subframe pada Kendaraan Bermotor dengan sambungan mur-baut (bolt-nut)
Belum semua APM kendaraann komersial maupun karoseri di Indonesia yang punya standar tinggi perlidungan pasif sebagai peranti bawaan pabrik
Meski secara regulasi telah diatur namun masih terlalu banyak truk berbagai ukuran dan kelas yang tidak mengindahkanya.
Kalau sudah begini maka perlu inisiatif dari setiap pengemudi untuk memperhatikan dengan penuh kesadaran, setidaknya, batas kecepatan berkendara di jalan raya arteri maupun bebas hambatan.
Sony Susmana, Senior Instructor dari SDCI-Safety Defensive Consultant Indonesia, seperti yang juga ada di catatan Bus-Truck.id (29/6), pernah mengingatkan soal ini. “Di setiap ruas jalan tol ada aturan batas kecepatan kendaraan, masing-masing ruas rambunya berbeda-beda tergantung lokasi, lebar jalan, dan kepadatan kendaraan yang melintas,” ujarnya.
Dari sudut pandang itu, sebenarnya sudah ada penegasan kalau ‘tidak ada aturannya’ saat mengemudi kendaraan di jalan tol boleh ngebut. “Sekalipun dilakukan pakai mobil dengan embel-embel ‘sport’,” sergah Sony sembari menyebut bahwa di sirkuit adalah lokasi paling pas untuk adu kecepatan.
Ia juga mengingatkan bahwa mengemudi dengan kecepatan tinggi di jalur tol saat malam sejatinya juga lebih berbahaya dibandingkan saat matahri bersinar terang. “Nggak ada rumusnya ‘hafal’ kondisi jalan, karena pasti berubah-ubah situasinya sekalipun di waktu yang sama,” pungkasnya.
Baca juga: Inilah Kisah Klasik Penyebab Rem Blong Kendaraan Besar
Baca juga: Perhatian, Jalur Kereta Api Harus “Steril”!
Kecelakaan di ruas Tol Trans Jawa akibat pengemudi tidak mematuhi batas kecepatan sehingga menabrak bagian bekakang truk yang berhenti darurat di bahu jalan
Bus yang sama-sama berbodi besar juga akan mengalami kerusakan berat jika menabrak bagian belakang truk