Memasuki tahun 2024 jika boleh disebut merupakan permulaan yang kelam bagi dunia transportasi bus nasional. Bagaimana tidak, empat kali nyaris beruntun terjadi kecelakaan yang melibatkan bus dan yang paling memperihatinkan adalah adanya korban yang tewas dalam kecelakaan-kecelakaan tersebut. Kebetulan empat kecelakaan ini, tiga dia natarnya terjadi di jalan tol.
Lebih miris memasuki bulan Februari terjadi lagi dua kecelakaan yang juga menimbulkan korban jiwa. Pertama di daerah Kubu Raya, Kalimantan Barat, kemudian yang terjadi akhir pekan lalu (4/2) di ruas tol Trans Jawa wilayah Ngawi dimana sebuah bus pariwisata terguling karena sopirnya kehilangan kendali saat menyalip.
Berkaitan kecelakaan yang berulang dalam satu bulan terakhir, dugaan karena kelalaian sang pengemudi, Senior Instructor Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI), Sony Susmana, mengutarakan pendapatnya.
“Saya kurang setuju kalau melimpahkan tanggung jawab 100 persen ke pengemudi jika terjadi kecelakaan,” ungkapnya saat dihubungi langsung (29/1).
Hal itu menurutnya tetap ada peran dari pemilik armada atau pihak manajemen yang dianggapnya kerap menekan pengemudi dengan memberikan rentang waktu mengemudi yang terlalu panjang.
Kondisi itu terbilang berbahaya, terutama jika dalam satu unit bus hanya terdapat satu orang pengemudi. Potensi kelelahan dan ‘dikejar’ waktu sebenarnya sangat berpotensi menimbulkan kecelakaan. “Karena sebenarnya driver tahu bahaya-bahanya ketika memaksakan diri (untuk mengemudi, Red), tetapi mereka kadang enggak punya pilihan,” jelasnya prihatin.
Sejurus kemudian dijelaskan lagi oleh Sony bahwa jika kita memperhatikan bus-bus yang melaju cepat, di jalan arteri maupun di jalur tol,”Lebih karena dikejar ‘rotasi’ (target rit, Red), dan mengindari rasa kantuk.”
Jika faktor pertama tentu akan melibatkan peran serta perusahaan pemilik armada, maka soal kedua akan menyangkut persoalan keletihan fisik dari si pengemudi.
Soal yang paling mudah adalah munculnya rasa kantuk, yang masih menurut Sony Susmana, tidaklah efektif jika hanya ditahan oleh meminum kopi. “Sering kali menanggulangi kantuknya salah, mengandalkan kopi supaya melek saat mengemudi kalau saya tidak mengajurkan,” wantinya.
Dijelaskan lebih detail bahwa rasa kantuk bukanlah faktor yang berkaitan dengan kinerja mata. “Tetapi karena ada aliran aliran darah yang tidak lancer lancar atau oksigen di dalam darah kurang, salah satu pemicunya adalah kurangnya waktu istirahat,” jabarnya.
Pada kesempatan lain Sony jugga menyebutkan bahwa rasa kantuk yang menyerang pengemudi disebabkan juga oleh duduk yang terlalu lama. Sejurus kemudian ia menegaskan bahwa waktu ideal berkendara di jalan tol paling lama adalah tiga jam. Setelahnya perlu ada jeda, setidaknya 15 menit, dan harus dimanfaatkan secara maksimal.
Walaupun terkesan sepela namun melakukan peregangan dianggapnya sangat efektif membangkitkan lagi potensi kesadaran dan konseterasi dalam mengemudi.
Baca juga: Kejadian Perdana 2024, Dua Orang Tewas Lagi Akibat Pengemudi Bus Gegabah Bermanuver Di Tol
Baca juga: Kecelakaan Bus Tabrak Belakang, Umumnya Karena Driver Merasa ‘Jago Nyetir’…